Pelestarian dan Pengembangan Adat Istiadat
dan Nilai Sosial Budaya Masyarakat
Latar Belakang
Adat istiadat dan nilai sosial budaya
masyarakat merupakan salah satu modal sosial yang dapat dimanaatkan
dalam rangka pelaksanaan pembangunan. Badan Pemberdayaan Masyarakat
Provinsi Jawa Timur (Bapemas Provinsi Jawa Timur) memandang perlu
dilakukan upaya pelestarian dan pengembangan sesuai dengan karakteristik
dari masyarakat adat.
Pelestarian dan pengembangan adat
istiadat dan nilai sosial budaya masyarakat dibangun dengan
mengkedepankan tiga pilar utama yaitu pilar pengembangan ekonomi
masyarakat, pilar pelestarian dan pilar kemandrian masyarakat. Pilar
pertama menyangkut aspek nilai guna adat istiadat bagi tumbuh kembangnya
ekonomi masyarakat untuk menjawab tantangan pemenuhan kebutuhan
ekonomi. Pilar yang kedua menyangkut aspek kebertahanan identitas sosial
budaya masyarakat yang menyokong pada integrasi nasional. Pilar ketiga
berkaitan dengan kemampuan masyarakat melaksanakan pengorganisasian
potensi adat istiadat dan nilai sosial budaya secara otonom, mandiri dan
profesional.
Potensi dan aset adat istadat dan nilai
budaya masyarakat sangat besar, namun belum didayagunakan secara
optimal. Khususnya dalam memberi fundamen ke arah peningkatan ekonomi
masyarakat secara nyata. Dengan demikian, pemberdayaan kelompok
masyarakat adat adalah hal penting guna menopang kehidupan masyarakat
khususnya pengembang adat istiadat dan nilai budaya setempat. Dalam
program tahun 2011 lebih difokuskan pada pemberdayaan ekonomi produktif
kelompok pengembang seni budaya lokal
Tujuan Umum :
Program Pelestarian dan pengembangan adat istiadat dan nilai sosial
budaya masyarakat bertujuan untuk melestarikan dan pengembangan adat
istiadat dan nilai budaya lokal, khususnya di bidang seni budaya lokal
yang ada.
Tujuan Khusus :
- Meningkatkan partisipasi masyarakat
dalam pengkajian potensi sosial budaya masyarakat (khususnya di bidang
seni budaya lokal) sebagai modal sosial pembangunan, serta memetakan
peluang dan ancaman dalam rangka melakukan perencanaan, pelaksanaan,
pengendalian, evaluasi dan tindak lanjut serta pertanggungjawaban
kegiatan pembangunan masyarakat perdesaan;
- Memberdayakan kelompok-kelompok
masyarakat pengembang seni budaya masyarakat Lokal, khususnya dalam
rangka meningkatkan kesejahteraan bagi kelompok tersebut dalam upaya
untuk tetap melestarikan seni budaya dimaksud, melalui pengembangan
usaha ekonomi produktif yang sesuai.
- Mendukung pengembangan budaya nasional
dalam mencapai peningkatan kualitas ketahanan nasional dan keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
DASAR HUKUM PELAYANAN
- Undang - undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 125,
Tambahan lembaran Negara Nomor 4437) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 (Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 108,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4548);
- Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah;
- Peraturan Pemerintah No 72 Tahun 2005
tentang Desa;
- Peraturan Presiden RI Nomor 13 Tahun
2009 tentang Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan ;
- Permendagri No 52 Tahun 2007 tentang
Pedoman Pelestarian Dan Pengembangan Adat Istiadat dan Nilai Sosial
Budaya Masyarakat;
- Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13
tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007;
- Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 25
Tahun 2009 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan Belanja
Daerah (APBD) Tahun 2010;
- Peraturan Daerah Propinsi Jawa Timur
Nomor 2 Tahun 2006 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Jawa
Timur;
- Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 38
Tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD)
Provinsi Jawa Timur Tahun 2009 -2014;
- Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 17
Tahun 2011 tanggal 17 Pebruari 2011 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan
Belanja Subsidi, Hibah, Bantuan Sosial, Bagi Hasil, Bantuan Keuangan,
Belanja Tidak Terduga, dan Pengeluaran Pembiayaan Pemerintah Provinsi
Jawa Timur;
- Dokumen Pelaksanaan Anggaran Satuan
Kerja Perangkat Daerah Badan Pemberdayaan Masyarakat Provinsi Jawa Timur
tanggal 3 Januari 2011 Nomor: 914/62/013/2011.
![Wisata Dewata](http://wisatadewata.com/images/logo.png)
Hari Raya Kuningan
![](http://wisatadewata.com/files/images/Hari%20Raya%20Kuningan.JPG)
Hari
Raya Kuningan diperingati setiap 210 hari atau 6 bulan sekali dalam
kalender Bali tepatnya pada Saniscara Kliwon Wuku Kuningan.
(1 bulan
dalam kalender Bali = 35 hari). Di hari Raya Kuningan yang suci
ini diceritakan Ida Sang Hyang Widi turun ke dunia untuk memberikan
berkah kesejahteraan buat seluruh umat di dunia. Masyarakat Hindu di
Bali yakini, pelaksanaan upacara pada hari raya Kuningan sebaiknya
dilakukan sebelum tengah hari, sebelum waktu para Dewa, Bhatara, dan
Pitara kembali ke sorga.
Hari raya Kuningan adalah rangkaian upacara Galungan, 10 hari sebelum
Kuningan. Ada beberapa perlengkapan Hari Kuningan yang khas yaitu:
Endongan sebagai simbol persembahan kepada Hyang Widhi. Tamyang sebagai
simbol penolak malabahaya. Kolem sebagai simbol tempat peristirahatan
hyang Widhi, para Dewa dan leluhur kita.
Pada hari Raya ini dibuat nasi kuning, lambang kemakmuran dan
dihaturkan sesajen-sesajen sebagai tanda terima kasih kita sebagai umat
manusia atas anugrah yang telah diberikan Hyang Widhi, sesajen itu
berupa bahan-bahan sandang dan pangan yang semuanya itu dilimpahkan oleh
beliau kepada umatNya atas dasar cinta-kasihnya. Tamyang ini
mengingatkan manusia pada hukum alam, bila alam lingkungan kita jaga dan
pelihara itu semua akan mendatangkan anugerah dan kemakmuran, namun
sebaliknya bila alam dirusak akan menimbulkan bencana dan petaka buat
kita dan umat manusia. Sedangkan endongan bermakna perbekalan. Bekal
yang paling utama dalam mengarungi kehidupan adalah ilmu pengetahuan dan
bhakti Oleh karena itu melalui perayaan Hari Kuningan ini umat Hindu
khususnya di bali, diharapkan mampu menata kembali kehidupan yang
harmonis (hita) sesuai dengan tujuan yang telah di gariskan oleh Hyang
Widhi.
Seluruh umat Hindu yang ada di Bali melakukan upacara adat Hari Raya
Kuningan ini tidak di wajibkan melaksanakannya di pura, apa lagi bila
jarak pura terlalu jauh dari tempat tinggal. Pelaksanaan upacara ini
bisa dilakukan juga dirumah mengingat waktu nya yang terlalu singkat,
kebiasaaan ini menjadi salah satu adat yang terus dilestarikan hingga
saat ini, Pada hari Rabu, Kliwon, wuku Pahang, disebut dengan hari Pegat
Wakan yang merupakan hari terakhir dari semua rangkaian Hari Raya
Galungan-Kuningan. Sesajen yang dihaturkan pada hari ini yaitu sesayut
Dirgayusa, panyeneng, tatebus kehadapan Tuhan Yang Maha Esa sebagai
pencipta bumi dan alam seisinya. Dengan demikian berakhirlah semua
rangkaian hari raya Galungan-Kuningan selama 42 hari.
Jadi inti dan makna dari Hari Raya Kuningan itu sendiri adalah memohon
keselamatan, kemakmuran,kesejahteraan, perlindungan juga tuntunan
lahir-bathin kepada para Dewa, Bhatara, dan para Pitara agar semua yang
diinginkan bisa terkabul dan terlaksana seijin Hyang Widhi.
Menggelitik Adat Istiadat dan
Nilai Budaya Sosial dalam Pembangunan Masyarakat dan Desa
Ada satu pertanyaan menggelitik
muncul ketika berbagai program pembangunan desa marak diluncurkan yaitu
“Apakah budaya masyarakat merupakan faktor penting yang diperhatikan
bagi input kebijakan dalam menyusun program pembanguna desa?”. Ketika
suatu kebijakan pembangunan desa mengemukakan penghargan terhadap
nilai-nilai budaya yang ditemui sangat beraneka ragam di negeri
kepulauan Nusantara ini, berartimengindikasikan suatu penghormatan
terhadap nilai budaya sebagai suatu hak individu dan hak azasi
masyarakat.
Di era pasca reformasi indikasi terhadap
nilai budaya ini, sebenarnya sudah tampak mengemuka ketika Peraturan
Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa diterbitkan sebagai
penjabaran lebih lanjut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah. Desa atau yang disebut dengan nama lain dinyatakan
sebagai kesatuan masyarakat hukum dengan batas wilayah yang didalamnya
memiliki wewenang mengatur dan mengurus kepentingan warganya berdasarkan
asal-usul dan adat istiadat setempat. Hal ini diakui dan dihormati
dalam sIstem Pemerintahan NKRI.
Betapa tidak, jika
ditelusuri jejak sejarah desa, pada tahun 1817 seorang warga Negara
Belanda yang menjabat sebagai Pembantu Gubernur Jenderal Inggris bernama
Mr. Mutinghe, menemukan adanya pemukiman di pesisir pantai Utara Jawa.
Laporan temuan ini melandasi dikeluarkannya Indlansche
Gemeente-Ordonantie (IGO) dan Indlansche Gemeentie-Ordonantie
Buitengeustatesten (IGOB) oleh pemerintah kolonial Belanda masing-masing
untuk daerah Jawa dan luar Jawa. Ini merupakan bentuk pengakuan
penghargaan terhadap hak otonomi asli desa. Demikian juga pada masa
pendudukan Jepang, pengaturan tentang desa termasuk di dalamnya hokum
adat tidak diganggu gugat, sepanjang tidak bertentangan dengan
kepentingan penjajah tentunya.
Adat istiadat atau hukum
adat sebenarnya masih sangat kental mewarnai kehidupan masyarakat desa.
Bahkan masyarakat atau komunitas tertentu di kota-kotapun banyak yang
masih membawa kebiasaan dan menerapkan adat istiadat dari desa atau
kampung halaman mereka masing-masing. Sampai di kota atau daerah
perantauan ikatan kekerabatan dalam budaya yang dimiliki masih
dipertahankan. Ambil saja contoh perkumpulan masyarakat Minang,
Tapanuli, Maluku yang tersebar di berbagai kota. Apalagi di daerah asal
mereka tentunya ikatan kekerabatan dan adat istiadat ini lebih kental
lagi. Asumsinya, banyak hal dalam kehidupan masyarakat dengan
karakteristik seperti ini, termasuk dalam hal membangun desa seharusnya
bisa menciptakan dukungan positif dan kondusif untuk mencapai tingkat
kesejahteraan masyarakatnya.
Namun, jika kita simak
pergumulan pemerintah dalam upaya meningkatkan kesejahteraan sekelompok
masyarakat yang mendapat “Lebelling” alias predikat miskin selama decade
belakangan ini, serasa sebagai suatu “never ending business”. Seluruh
potensi nampaknya telah dikerahkan, namun penurunannya merambat
perlahan serasa bergeming. Bahkan sinisme yang terlontar untuk
perjuangan melawan kemiskinan ini bagaikan “Jauh Panggang dari Api”: Apa
pasalnya? Apakah kebiasaan, adat istiadat, nilai-nilai budaya yang
pekat mewarnai kehidupan dan interaksi social masyarakat desa memang
benar-benar tidak mampu menjembatani jurang dalam antara si miskin dan
si kaya di desa sehingga desa semakin tidak nyaman untuk ditinggali yang
mengakibatkan orang desa berbondon-bondong hijrah ke kota ? atau
jangan-jangan implementasi kebijakan yang sudah tegas meletakkan dasar
keberpihakan pada masyarakat dan desa tergiring kearah yang keluar dari
arah sasaran?
Mari kita lihat payung hukum lewat
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2007 tentang Pedoman
Pelatihan dan Pengembangan Adat Istiadat dan Nilai-Nilai Sosial Budaya
Masyarakat. Upaya pelestarian dan pengembangan dimaksudkan untuk
memperkokoh jati diri individu dan masyarakat dalam mendukung kelancaran
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Tujuannya mendukung
pengembangan budaya nasional dalam mencapai kualitas ketahanan nasional
dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Bagi
institusi pemberdayaan masyarakat seperti Direktorat Jenderal
Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (Ditjen PMD) ada dua aspek pokok
penting yang menjadi titik perhatian. Yang pertama, dalam rangka
mencapai tujuan prioritas sebagai bagian dari rencana strategis sampai
tahun 2014 mendatang adat istiadat dan nilai social budaya masyarakat
harus menjadi “obat kuat” yang memperkokoh jati diri individu dan
masyarakat untuk mendukung kelancaran pemerintahan dan pembangunan. Yang
kedua, dalam rangka mencapai peningkatan kualitas ketahanan nasional
dan keutuhan NKRI, mau tidak mau pelestarian dan pengembangan adat
istiadat dan nilai-nilai social budaya harus dilakukan.
Masalahnya sekarang, bagaimana memastikan dan apa cirinya kalau suatu
pembangunan desa memiliki konsep, program dan strategi pelaksanaan
berdasarkan adat isitiadat dan nilai-nilai social budaya? Semisal
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), prosesnya sarat dengan
forum musyawarah. Soal bermusyawarah kalau dilihat dari perspektif
budaya atau adat istiadat sudah melekat pada proses interaksi social
yang ada dalam komunitas desa. Namun musyawarah yang dikenalkan
nampaknya melalui prosedur atau tahapan yang selain diperkenalkan dengan
istilah-istilah baru yang bernuansa modern juga melalui tahapan yang
cukup panjang. Kalau saja dapat memakai aturan adat istiadat atau
kebiasaan yang berlaku di masyarakat mungkin istilah “selesaikan secara
adat” bisa lebih efektif dan efisien dan bahkan juga ekonomis. Yah,
bagaimana kita tahu kalau tidak ada keberanian untuk mencobanya?