Selasa, 18 Desember 2012

blog adat/budaya

Pelestarian dan Pengembangan Adat Istiadat dan Nilai Sosial Budaya Masyarakat



Latar Belakang
Adat istiadat dan nilai sosial budaya masyarakat merupakan salah satu modal sosial yang dapat dimanaatkan dalam rangka pelaksanaan pembangunan. Badan Pemberdayaan Masyarakat Provinsi Jawa Timur (Bapemas Provinsi Jawa Timur) memandang perlu dilakukan upaya pelestarian dan pengembangan sesuai dengan karakteristik dari masyarakat adat.
Pelestarian dan pengembangan adat istiadat dan nilai sosial budaya masyarakat dibangun dengan mengkedepankan tiga pilar utama yaitu pilar pengembangan ekonomi masyarakat, pilar pelestarian dan pilar kemandrian masyarakat. Pilar pertama menyangkut aspek nilai guna adat istiadat bagi tumbuh kembangnya ekonomi masyarakat untuk menjawab tantangan pemenuhan kebutuhan ekonomi. Pilar yang kedua menyangkut aspek kebertahanan identitas sosial budaya masyarakat yang menyokong pada integrasi nasional. Pilar ketiga berkaitan dengan kemampuan masyarakat melaksanakan pengorganisasian potensi adat istiadat dan nilai sosial budaya secara otonom, mandiri dan profesional.
Potensi dan aset adat istadat dan nilai budaya masyarakat sangat besar, namun belum didayagunakan secara optimal. Khususnya dalam memberi fundamen ke arah peningkatan ekonomi masyarakat secara nyata. Dengan demikian, pemberdayaan kelompok masyarakat adat adalah hal penting guna menopang kehidupan masyarakat khususnya pengembang adat istiadat dan nilai budaya setempat. Dalam program tahun 2011 lebih difokuskan pada pemberdayaan ekonomi produktif kelompok pengembang seni budaya lokal

Tujuan Umum :
Program Pelestarian dan pengembangan adat istiadat dan nilai sosial budaya masyarakat bertujuan untuk melestarikan dan pengembangan adat istiadat dan nilai budaya lokal, khususnya di bidang seni budaya lokal yang ada.

Tujuan Khusus :
  1. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengkajian potensi sosial budaya masyarakat (khususnya di bidang seni budaya lokal) sebagai modal sosial pembangunan, serta memetakan peluang dan ancaman dalam rangka melakukan perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, evaluasi dan tindak lanjut serta pertanggungjawaban kegiatan pembangunan masyarakat perdesaan;
  2. Memberdayakan kelompok-kelompok masyarakat pengembang seni budaya masyarakat Lokal, khususnya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan bagi kelompok tersebut dalam upaya untuk tetap melestarikan seni budaya dimaksud,  melalui pengembangan usaha ekonomi produktif yang sesuai.
  3. Mendukung pengembangan budaya nasional dalam mencapai peningkatan kualitas ketahanan nasional dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

DASAR HUKUM PELAYANAN

  1. Undang - undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan lembaran Negara Nomor 4437) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 (Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4548);
  2. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah;
  3. Peraturan Pemerintah No 72 Tahun 2005 tentang Desa;
  4. Peraturan Presiden RI Nomor 13 Tahun 2009 tentang Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan ;
  5. Permendagri No 52 Tahun 2007 tentang Pedoman Pelestarian Dan Pengembangan Adat Istiadat dan Nilai Sosial Budaya Masyarakat;
  6. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007;
  7. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Tahun 2010;
  8. Peraturan Daerah Propinsi Jawa Timur Nomor 2 Tahun 2006 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Jawa Timur;
  9. Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 38 Tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Jawa Timur  Tahun 2009 -2014;
  10. Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 17 Tahun 2011 tanggal 17 Pebruari 2011 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Belanja Subsidi, Hibah, Bantuan Sosial, Bagi Hasil, Bantuan Keuangan,  Belanja Tidak Terduga, dan Pengeluaran Pembiayaan Pemerintah Provinsi  Jawa Timur;
  11. Dokumen Pelaksanaan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah Badan Pemberdayaan Masyarakat Provinsi Jawa Timur tanggal 3 Januari 2011 Nomor: 914/62/013/2011.
Wisata Dewata

Hari Raya Kuningan

Hari Raya Kuningan diperingati setiap 210 hari atau 6 bulan sekali dalam kalender Bali tepatnya pada Saniscara Kliwon Wuku Kuningan. (1 bulan dalam kalender Bali = 35 hari). Di hari Raya Kuningan yang suci ini diceritakan Ida Sang Hyang Widi turun ke dunia untuk memberikan berkah kesejahteraan buat seluruh umat di dunia. Masyarakat Hindu di Bali yakini, pelaksanaan upacara pada hari raya Kuningan sebaiknya dilakukan sebelum tengah hari, sebelum waktu para Dewa, Bhatara, dan Pitara kembali ke sorga.
Hari raya Kuningan adalah rangkaian upacara Galungan, 10 hari sebelum Kuningan. Ada beberapa perlengkapan Hari Kuningan yang khas yaitu: Endongan sebagai simbol persembahan kepada Hyang Widhi. Tamyang sebagai simbol penolak malabahaya. Kolem sebagai simbol tempat peristirahatan hyang Widhi, para Dewa dan leluhur kita.
Pada hari Raya ini dibuat nasi kuning, lambang kemakmuran dan dihaturkan sesajen-sesajen sebagai tanda terima kasih kita sebagai umat manusia atas anugrah yang telah diberikan Hyang Widhi, sesajen itu berupa bahan-bahan sandang dan pangan yang semuanya itu dilimpahkan oleh beliau kepada umatNya atas dasar cinta-kasihnya. Tamyang ini mengingatkan manusia pada hukum alam, bila alam lingkungan kita jaga dan pelihara itu semua akan mendatangkan anugerah dan kemakmuran, namun sebaliknya bila alam dirusak akan menimbulkan bencana dan petaka buat kita dan umat manusia. Sedangkan endongan bermakna perbekalan. Bekal yang paling utama dalam mengarungi kehidupan adalah ilmu pengetahuan dan bhakti Oleh karena itu melalui perayaan Hari Kuningan ini umat Hindu khususnya di bali, diharapkan mampu menata kembali kehidupan yang harmonis (hita) sesuai dengan tujuan yang telah di gariskan oleh Hyang Widhi.
Seluruh umat Hindu yang ada di Bali melakukan upacara adat Hari Raya Kuningan ini tidak di wajibkan melaksanakannya di pura, apa lagi bila jarak pura terlalu jauh dari tempat tinggal. Pelaksanaan upacara ini bisa dilakukan juga dirumah mengingat waktu nya yang terlalu singkat, kebiasaaan ini menjadi salah satu adat yang terus dilestarikan hingga saat ini, Pada hari Rabu, Kliwon, wuku Pahang, disebut dengan hari Pegat Wakan yang merupakan hari terakhir dari semua rangkaian Hari Raya Galungan-Kuningan. Sesajen yang dihaturkan pada hari ini yaitu sesayut Dirgayusa, panyeneng, tatebus kehadapan Tuhan Yang Maha Esa sebagai pencipta bumi dan alam seisinya. Dengan demikian berakhirlah semua rangkaian hari raya Galungan-Kuningan selama 42 hari.
Jadi inti dan makna dari Hari Raya Kuningan itu sendiri adalah memohon keselamatan, kemakmuran,kesejahteraan, perlindungan juga tuntunan lahir-bathin kepada para Dewa, Bhatara, dan para Pitara agar semua yang diinginkan bisa terkabul dan terlaksana seijin Hyang Widhi.

Menggelitik Adat Istiadat dan Nilai Budaya Sosial dalam Pembangunan Masyarakat dan Desa

Ada satu pertanyaan menggelitik muncul ketika berbagai program pembangunan desa marak diluncurkan yaitu “Apakah budaya masyarakat merupakan faktor penting yang diperhatikan bagi input kebijakan dalam menyusun program pembanguna desa?”. Ketika suatu kebijakan pembangunan desa mengemukakan penghargan terhadap nilai-nilai budaya yang ditemui sangat beraneka ragam di negeri kepulauan Nusantara ini, berartimengindikasikan suatu penghormatan terhadap nilai budaya sebagai suatu hak individu dan hak azasi masyarakat.
          Di era pasca reformasi indikasi terhadap nilai budaya ini, sebenarnya sudah tampak mengemuka ketika Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa diterbitkan sebagai penjabaran lebih lanjut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Desa atau yang disebut dengan nama lain dinyatakan sebagai kesatuan masyarakat hukum dengan batas wilayah yang didalamnya memiliki wewenang mengatur dan mengurus kepentingan warganya berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat. Hal ini diakui dan dihormati dalam sIstem Pemerintahan NKRI.
          Betapa tidak, jika ditelusuri jejak sejarah desa, pada tahun 1817 seorang warga Negara Belanda yang menjabat sebagai Pembantu Gubernur Jenderal Inggris bernama Mr. Mutinghe, menemukan adanya pemukiman di pesisir pantai Utara Jawa. Laporan temuan ini melandasi dikeluarkannya Indlansche Gemeente-Ordonantie (IGO) dan Indlansche Gemeentie-Ordonantie Buitengeustatesten (IGOB) oleh pemerintah kolonial Belanda masing-masing untuk daerah  Jawa dan luar Jawa. Ini merupakan bentuk pengakuan penghargaan terhadap hak otonomi asli desa. Demikian juga pada masa pendudukan Jepang, pengaturan tentang desa termasuk di dalamnya hokum adat tidak diganggu gugat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan penjajah tentunya.
          Adat istiadat atau hukum adat sebenarnya masih sangat kental mewarnai kehidupan masyarakat desa. Bahkan masyarakat atau komunitas tertentu di kota-kotapun banyak yang masih membawa kebiasaan dan menerapkan adat istiadat dari desa atau kampung halaman mereka masing-masing. Sampai di kota atau daerah perantauan ikatan kekerabatan dalam budaya yang dimiliki masih dipertahankan. Ambil saja contoh perkumpulan masyarakat Minang, Tapanuli, Maluku yang tersebar di berbagai kota. Apalagi di daerah asal mereka tentunya ikatan kekerabatan dan adat istiadat ini lebih kental lagi. Asumsinya, banyak hal dalam kehidupan masyarakat dengan karakteristik seperti ini, termasuk dalam hal membangun desa seharusnya bisa menciptakan dukungan positif dan kondusif untuk mencapai tingkat kesejahteraan masyarakatnya.
          Namun, jika kita simak pergumulan pemerintah dalam upaya meningkatkan kesejahteraan sekelompok masyarakat yang mendapat “Lebelling” alias predikat miskin selama decade belakangan ini, serasa sebagai suatu “never ending business”. Seluruh potensi nampaknya telah dikerahkan, namun  penurunannya merambat perlahan serasa bergeming. Bahkan sinisme yang terlontar untuk perjuangan melawan kemiskinan ini bagaikan “Jauh Panggang dari Api”: Apa pasalnya? Apakah kebiasaan, adat istiadat, nilai-nilai budaya yang pekat mewarnai kehidupan dan interaksi social masyarakat desa memang benar-benar tidak mampu menjembatani jurang dalam antara si miskin dan si kaya di desa sehingga desa semakin tidak nyaman untuk ditinggali yang mengakibatkan orang desa berbondon-bondong hijrah ke kota ? atau jangan-jangan implementasi kebijakan yang sudah tegas meletakkan dasar keberpihakan pada masyarakat dan desa tergiring kearah yang keluar dari arah sasaran?
          Mari kita lihat payung hukum lewat Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2007 tentang Pedoman Pelatihan dan Pengembangan Adat Istiadat dan Nilai-Nilai Sosial Budaya Masyarakat. Upaya pelestarian dan pengembangan dimaksudkan untuk memperkokoh jati diri individu dan masyarakat dalam mendukung kelancaran penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Tujuannya mendukung pengembangan budaya nasional dalam mencapai kualitas ketahanan nasional dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
          Bagi institusi pemberdayaan masyarakat seperti Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (Ditjen PMD) ada dua aspek pokok penting yang menjadi titik perhatian. Yang pertama, dalam rangka mencapai tujuan prioritas sebagai bagian dari rencana strategis sampai tahun 2014 mendatang adat istiadat dan nilai social budaya masyarakat harus menjadi “obat kuat” yang memperkokoh jati diri individu dan masyarakat untuk mendukung kelancaran pemerintahan dan pembangunan. Yang kedua, dalam rangka mencapai peningkatan kualitas ketahanan nasional dan keutuhan NKRI, mau tidak mau pelestarian dan pengembangan adat istiadat dan nilai-nilai social budaya harus dilakukan.
          Masalahnya sekarang, bagaimana memastikan dan apa cirinya kalau suatu pembangunan desa memiliki konsep, program dan strategi pelaksanaan berdasarkan adat isitiadat dan nilai-nilai social budaya? Semisal Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), prosesnya sarat dengan forum musyawarah. Soal bermusyawarah kalau dilihat dari perspektif budaya atau adat istiadat sudah melekat pada proses interaksi social yang ada dalam komunitas desa. Namun musyawarah yang dikenalkan nampaknya melalui prosedur atau tahapan yang selain diperkenalkan dengan istilah-istilah baru yang bernuansa modern juga melalui tahapan yang cukup panjang. Kalau saja dapat memakai aturan adat istiadat atau kebiasaan yang berlaku di masyarakat mungkin istilah “selesaikan secara adat” bisa lebih efektif dan efisien dan bahkan juga ekonomis. Yah, bagaimana kita tahu kalau tidak ada keberanian untuk mencobanya?

0 komentar:

:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n:

Posting Komentar